Pada
sekitar tahun 1930-an, ada sebuah kisah yang sangat menginspirasi, yaitu kisah
seorang anak berumur 10 tahun yang ingin membeli ice cream untuk dirinya. Siang
itu, si anak mendatangi sebuah kedai minuman dan langsung duduk di salah satu
tempat di dalam kedai itu. Lalu seorang pelayan menghampirinya dan meletakkan
gelas air minum di depan si anak.
Hari
itu si anak ingin sekali makan ice cream favorite nya yaitu ice cream sundae.
Lalu ia bertanya kepada si pelayan tadi “mba, berapa harga satu porsi ice cream
sundae?”. Lalu si pelayan dengan cepat menjawab ” harganya 50 sen dik”. Si anak
kemudian mulai merogoh kantung celananya dan mengeluarkan semua uang koin yang
ada di dalam kantung celananya itu dengan perlahan, dan menghitung uangnya
dengan hati-hati. Sepertinya si anak menyadari bahwa uang nya tidak cukup untuk
membeli ice cream sundae karena kemudian dia bertanya lagi pada si pelayan
“kalau ice cream yang biasa saja harganya berapa mba?”. Pada saat itu sudah
banyak pengunjung kedai itu yang sedang menunggu untuk dilayani. Si pelayan
menjadi tidak sabar dan menjawab dengan agak kasar pada si anak “harganya 35
sen”, sambil menunjukkan sikap seperti orang yang sedang jengkel dan ingin
meninggalkan si anak karena tidak sabar.
Lalu
dengan perlahan, si anak kemudian menghitung uang koinnya lagi, dan kemudian
berkata pada si pelayan “Ya sudah, saya pesan ice cream yang biasa aja mba”.
Lalu si pelayan pergi meninggalkan si anak untuk mengambilkan pesanannya itu.
Tidak lama kemudia si pelayanan membawakan ice cream pesanan si anak tadi dan
meninggalkan bon di meja si anak, lalu si anak mulai menikmati ice cream yang
dia pesan.
Setelah
si anak menghabiskan ice cream yang dia beli, lalu dia membayar ice cream tadi
di kasir dan langsung pergi dari kedai itu. Ketika si pelayan akan membersihkan
meja yang dipakai anak tadi, dia melihat dua koin 5 sen dan 5 koin satu sen
yang sengaja diletakkan si anak di samping mangkuk tempat ice creamnya. Inilah
alasan kenapa anak itu tidak jadi membeli ice cream sundae seharga 50 sen, karena
si anak ingin memberikan uang tip yang layak (15 sen) pada si pelayan. Si
pelayan pun kaget atas kebaikan si anak tadi dan mulai menangis karena terharu
dan merasa bersalah telah berlaku agak kasar pada si anak.
Kita
pasti pernah berlaku seperti si pelayan pada orang lain yang baru kita kenal.
Sangat sering kita cepat mengambil kesimpulan dan menghakimi orang lain karena
kita melihat sebuah kejadian hanya dari satu sisi saja – hanya dari sudut
pandang kita sendiri. Sesuatu yang kelihatan tidak baik pada satu sisi
belum tentu tidak baik pada sisi yang lainnya. Apa yang dilakukan si anak tadi
– menghitung uang koinnya dengan perlahan – membuat si pelayan merasa jengkel,
ternyata berujung pada niat baik si anak yang ingin memberikan tip pada si
pelayan. Dan sayangnya si pelayan terlalu cepat menghakimi dan terlambat
menyadari kebaikan si anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar